Detail Cantuman Kembali

XML

Bagasse Fly Utilization as an Adsorbent to Reduce H2S Level in Tofu Waste Biogas


PEMANFAATAN BAGASSE FLY ASH SEBAGAI ADSORBEN

UNTUK MENGURANGI KADAR H2S DALAM BIOGAS
LIMBAH TAHU


Ringkasan

Magister Sistem Teknik
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik
















Oleh:
Rizki Triana Putri
09/305576/PTK/06798




Kepada

PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

































































ii













DAFTAR ISI


I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 2
III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 3
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 5
V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 10








































iii










I. PENDAHULUAN
Kebutuhan energi dalam negeri dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Oleh karena itu sesuai dengan kebijakan energi nasional, maka perlu
dikembangkan energi terbarukan sebagai salah satu energi alternatif yang dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi. Berdasarkan studi yang dilakukan
PLN dan jajarannya, di Indonesia dapat dibangun sekitar satu juta unit biogas.
Angka tersebut setara dengan penghematan 900 juta liter minyak tanah atau 700
ribu ton elpiji per tahun. (http://www.pln.co.id/pro00/news/aktivitas/76/225.html).
Biogas adalah salah satu sumber energi terbarukan yang telah banyak
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat di lingkungan
peternakan. Biogas dihasilkan dari proses anaerobic yang terjadi dalam sebuah
reaktor (biodigester).
Limbah cair tahu masih mengandung bahan-bahan organik yang
mengandung nutrisi yang cukup baik untuk pertumbuhan bakteri metanogenik.
Adanya bakteri metanogenik di dalam reaktor dapat menyebabkan terjadinya
proses metanogenesis yang dapat menghasilkan gas metana. Jumlah industri tahu
di Indonesia mencapai 84.000 unit usaha. Dengan kapasitas produksi lebih dari
2,56 juta ton per tahun, industri tahu ini memproduksi limbah cair sebanyak 20
juta meter kubik per tahun dan menghasilkan emisi sekitar 1 juta ton CO2
ekivalen. Sebanyak 80 persen industri tahu berada di Pulau Jawa. Dengan
demikian emisi yang dikeluarkan pabrik tahu di Jawa mencapai 0,8 juta ton CO2
ekivalen (http://hendrik-perdana.web.id/artikel/umum/242-biogas-dari-limbah-
tahu).
Bagasse Fly Ash (BFA) merupakan limbah hasil pembakaran dari boiler di
pabrik gula yang dikumpulkan oleh suatu alat khusus yang bernama dust
collector. BFA memiliki potensi sebagai adsorben karena memiliki pori-pori serta
kandungan karbon organik yang cukup tinggi (Agus Prasetya, 2007). Sejauh ini
BFA hanya digunakan sebagai adsorben untuk limbah cair, maka dibutuhkan
pengkajian lebih lanjut mengenai pemanfaatan BFA pada biogas. Salah satunya
adalah dengan pemanfaatan BFA sebagai adsorbent untuk mengurangi kadar H2S
dalam biogas limbah tahu.


1










II. TINJAUAN PUSTAKA
Limbah tahu adalah limbah yang dihasilkan dari proses produksi tahu.
Limbah cair tahu berasal dari proses perendaman, pencucian, penyaringan, dan
pada saat pencetakan tahu. Kandungan organik dalam limbah tahu masih sangat
tinggi terdiri dari protein yang mencapai 40-60%, karbohidrat 25-50%, dan lemak
10%. Komponen terbesar dari limbah cair tahu adalah protein yang apabila
dibuang ke lingkungan akan dapat menambah jumlah nitrogen di perairan tersebut
(Herlambang, 2002). Gas yang biasanya ditemukan dalam limbah tahu adalah
nitrogen (N2), oksigen (O2), hidrogen sulfide (H2S), amonia (NH3),
karbondioksida (CO2), dan metan (CH4). Gas-gas tersebut berasal dari
dekomposisi limbah cair tahu tersebut (Herlambang, 2002).
Biogas dihasilkan dari proses pembusukan material organik oleh bakteri
dalam kondisi anaerob (tanpa kehadiran oksigen). Gas metan yang dihasilkan
dalam proses anaerob ini mempunyai sifat tidak berbau, tidak berwarna, beracun,
serta mudah terbakar. Karena sifatnya tersebut maka gas metan termasuk gas yang
dapat membahayakan bagi keselamatan. Sedangkan sifat dari H2S sebagai salah
satu komponen penyusun biogas adalah beracun, berbau menyengat, dan sangat
korosif. Dengan sistem anaerobic pada biogas, gas yang dihasilkan tergantung
pada jumlah protein, karbohidrat, dan lemak yang terkandung dalam limbah cair
tahu.
Untuk mengurangi kadar gas H2S dalam biogas, maka dalam penelitian ini
digunakan adsorben yang berasal dari bagasse fly ash yang berasal dari
pembakaran ampas tebu. Menurut Agus Prasetya (2007) BFA memiliki pori-pori
yang bagus dan sangat potensial untuk dijadikan adsorbent karena kandungan
karbon organiknya masih cukup tinggi. Proses adsorpsi H2S dalam biogas limbah
tahu dengan menggunakan adsorben BFA dilakukan secara kontinyu. Dan dalam
mencari kapasitas adsorpsi dilakukan melalui pendekatan dengan menggunakan
model Adams-Bohart, Thomas, dan Yan.

Menurut Do (1998), adsorpsi dapat terjadi melalui 3 mekanisme yang
berbeda, yaitu: Steric mechanism, yaitu mekanisme adsorpsi yang berdasarkan



2










pada perbedaan molekul adsorbat; Equilibrium mechanism, mekanisme ini
berdasarkan pada kemampuan adsorben dalam menjerap adsorbat; Kinetics
mechanism, mekanisme adsorpsi yang didasarkan pada kecepatan difusi dari
adsorbat ke permukaan atau pori-pori adsorben.


III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan Penelitian

1. Bagasse fly ash, berasal dari PT. Madubaru Yogyakarta.

2. Biogas limbah tahu milik Bapak Sardjono, Desa Margoagung, Seyegan,
Sleman, Yogyakarta.

3. Hidrogen Peroksida (H2O2) 3% yang digunakan dalam aktivasi BFA.

4. Aquades, digunakan untuk mencuci BFA.

5. Tepung, sebagai perekat BFA powder yang akan dibentuk menjadi
granule.

3.2. Alat Penelitian

1. Kolom adsorpsi berbahan PVC, diameter 2.5 inch, panjang 30cm.
2. Flowmeter
3. Selang plastik
4. Oven
5. Saringan
6. Erlenmeyer
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk mengetahui situasi dan kondisi
instalasi biogas. Kondisi yang harus diketahui antara lain tentang
pengoperasian instalasi tersebut serta spesifikasi dari pipa aliran biogas.



3










3.3.2. Pembuatan Kolom Adsorpsi
Kolom adsorpsi dibuat dari bahan PVC dengan ukuran diameter 2.5
inch dan panjang kolom 30 cm.
3.3.3. Persiapan BFA dan Pemberian Perlakuan Pada BFA
Tahap persiapan BFA dilakukan dengan mengayak BFA dengan
ukuran -60+100 mesh dan -200 mesh. Setelah itu, masing masing BFA
diberikan perlakuan sebagai berikut :
1. BFA tidak teraktivasi
BFA yang tidak teraktivasi hanya diberikan perlakuan berupa
pencucian menggunakan aquades. Selanjutnya BFA di oven
dengan suhu 1000 C hingga BFA tersebut kering.
2. BFA teraktivasi
BFA teraktivasi diberikan perlakuan yang berbeda dari BFA yang
tidak teraktivasi. BFA direndam dalam larutan H2O2 3% selama 5
jam. Selanjutnya dicuci menggunakan aquades, kemudian
dikeringkan di oven dengan suhu 1000 C hingga mencapai berat
konstan.
H2O2 adalah oksidator kuat yang tidak berwarna dan sedikit
berbau asam. H2O2 adalah oksidator ramah lingkungan, karena
residu yang dihasilkan berupa hidrogen dan oksigen.
3. BFA recycle
BFA recycle berasal dari BFA teraktivasi -60+100 mesh yang
telah jenuh pada saat dipakai dalam eksperimen. BFA yang telah
jenuh tersebut diberikan perlakuan berupa dipanaskan ulang di
oven dengan suhu kurang lebih 1500 C.
3.3.4. Pembuatan Granul
Pembuatan granul dari BFA dilakukan dengan mencampur BFA yang
masih berbentuk serbuk dengan tepung dan air. Tepung berfungsi
sebagai perekat agar granul yang terbentuk tidak mudah hancur.
Granul dibuat dengan ukuran 4-6 mm.




4










3.3.5. Percobaan Kolom
Percobaan ini dilakukan dalam kolom adsorpsi yang berbentuk
silindris. Kolom adsorspsi tersebut diisi dengan BFA seberat 500 gram
yang telah dibentuk menjadi granul. Percobaan dilakukan sebanyak
jumlah variabel yang telah ditentukan.
3.4. Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel independent dalam penelitian ini terdiri dari perlakuan yang
diberikan terhadap BFA serta ukuran partikel BFA. Jadi variabel
yang akan diberikan pada penelitian ini berupa :
a. BFA terkativasi dengan ukuran -60+100 mesh
b. BFA tidak teraktivasi dengan ukuran -60+100 mesh
c. BFA tidak teraktivasi dengan ukuran -200 mesh
d. BFA recycle
2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah konsentrasi H2S setelah
melalui kolom adsorpsi.
3.5. Analisis Hasil
Analisis hasil dilakukan dengan mengukur konsentrasi H2S sebelum dan
setelah masuk ke kolom adsorpsi. Pengukuran outlet dilakukan hingga kolom
adsorben jenuh.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis H2S
Setelah pengambilan sampel, analisis dilakukan di Balai Teknologi
Kesehatan Lingkungan (BTKL) di Yogyakarta. Hasil dari analisis H2S
untuk masing-masing variabel adalah :
4.1.1. BFA teraktivasi -60+100 mesh (BFA 1)
Flow rate biogas saat data diambil adalah 200 ml/min dan konsentrasi
awal H2S adalah 154 ppm.



5










Tabel 1. Analisis H2S BFA 1










4.1.2. BFA tidak teraktivasi -60+100 mesh (BFA 2)
Flow rate biogas saat data diambil adalah 500 ml/min dan konsentrasi
awal H2S adalah 261.86 ppm.
Tabel 2. Analisis H2S BFA 2










4.1.3. BFA tidak teraktivasi -200 mesh (BFA 3)
Flow rate biogas saat data diambil adalah 300 ml/min dan konsentrasi
awal H2S adalah 215.55 ppm.
Tabel 3. Analisis H2S BFA 3











4.1.4. BFA recycle (BFA 4)
Flow rate biogas saat data diambil adalah 500 ml/min dan konsentrasi
awal H2S adalah 348.44 ppm.



6










Tabel 4. Analisis H2S BFA 4
No t(minute) C









1 0 348.44
2 2 266.9
3 4 283.33
4 6 284.44
5 7 320.25
6 8 331.33
7 10 348

4.2. Analisis Kapasitas Adsorpsi dan Kurva Breakthrough
Model yang memiliki nilai korelasi yang paling mendekati 1 adalah
model yang akan dipilih untuk menentukan kapasitas adsorpsi. Tabel 5
menunjukkan nilai korelasi dari masing-masing variabel.


Tabel 5. Analisis Kapasitas Adsorpsi

































7












Dari tabel 5, dapat diambil kesimpulan bahwa pada BFA 2 dan BFA 3,
model Thomas memiliki nilai korelasi yang paling mendekati 1. Meskipun pada
BFA 1 dan BFA 4 nilai korelasi yang paling mendekati 1 bukan model Thomas,
tetapi karena nilai korelasi model Thomas > 0,5, maka dapat diartikan nilai
korelasi tersebut memiliki korelasi yang kuat (Sarwono, 2006). Oleh karena
itulah, pada penelitian ini model Thomas dianggap sebagai model yang dapat
mewakili data dari semua variabel penelitian.
Tabel 6. Resume Kapasitas Adsorpsi


Variabel Perlakuan
Kimia


Ukuran
(mesh)


Konsentrasi Awal
(ppm)


Flow Rate
(ml/minute)


Kapasitas
Adsorpsi
(mg/g)

BFA 1 √ -60+100 154 200 2.42
BFA 2 - -60+100 261.86 500 1.28
BFA 3 - -200 215.55 300 1.81
BFA 4 Recycling -60+100 348.44 500 0.59

Dari tabel 6, dapat ditarik kesimpulan qBFAaktivasi -60+100mesh > qBFAnonaktivasi -


200mesh


> qBFAnonaktivasi -60+100mesh > qBFArecycle.

4.2.1. Efek Perlakuan Kimia
Perlakuan kimia yang berupa aktivasi terhadap BFA memiliki efek atau
pengaruh terhadap kemampuan adsorpsi BFA. Aktivasi kimia menggunakan
H2O2 menyebabkan BFA yang teraktivasi -60+100 mesh memiliki kapasitas
adsorpsi yang lebih baik dari BFA yang tidak teraktivasi dengan ukuran
yang sama yaitu 2,42 mg/g dan 1,28 mg/g. Perbedaan ini dapat disebabkan
karena perlakuan menggunakan bahan kimia dapat melarutkan mineral atau
zat pengotor lain dari permukaan BFA sehingga menyebabkan penambahan
volume pada permukaan adsorben (Shaobin dkk, 2005)
4.2.2. Efek Ukuran Partikel
Menurut Benefield (1982), ukuran partikel mempengaruhi kapasitas
adsorpsi, semakin kecil ukuran partikel maka kapasitas adsorpsi akan
semakin meningkat. Perbedaan ukuran partikel dalam penelitian ini



8











menyebabkan BFA tidak teraktivasi -200 mesh mempunyai kapasitas
adsorpsi yang lebih tinggi dari BFA tidak teraktivasi -60+100 mesh, yaitu
1,81 mg/g dan 1,28 mg/g.
4.2.3. Efek Flow Rate
Pada gambar 7 dapat dilihat bahwa kurva breakthrough akan semakin
pendek ketika flow ratenya semakin tinggi. Flow rate yang semakin tinggi
dapat mengurangi volume output yang ditreatment dalam kolom adsorpsi.
Flow rate yang tinggi dapat menyebabkan lapisan film yang mengelilingi
partikel menjadi hancur sehingga dapat mengurangi gaya adhesi antara
polutan dengan adsorben (Aksu dan Gonen, 2004). BFA 4 dan BFA 2
memiliki flow rate yang paling tinggi yaitu 500 ml/min, akan tetapi
kapasitas adsorpsinya lebih rendah dibanding dengan BFA 1 dan BFA 3
dengan kapasitas adsorpsi berturut-turut yaitu 1,28 mg/g ; 0,59 mg/g; 2,42
mg/g; dan 1,81 mg/g.
















Gambar 1. Perbandingan Kurva Breakthrough

4.2.4. Efek Konsentrasi Awal
Perubahan konsentrasi awal akan berpengaruh terhadap karakteristik
operasi dari kolom fixed bed. Adsorben menjadi lebih awal jenuh pada
konsentrasi awal yang tinggi karena situs ikatan menjadi lebih cepat jenuh
pada sistem (Aksu dan Gonen, 2004). BFA 4 memiliki konsentrasi awal
yang paling tinggi yaitu 348,4 ppm dan BFA 1 memiliki konsentrasi awal



9










yang terendah, yaitu 154 ppm. Sedangkan kapasitas adsorpsi BFA 4 dan
BFA berturut-turut adalah 0,59 mg/g dan 2,42 mg/g. BFA 4 lebih cepat
jenuh dibanding dengan BFA 1, BFA 4 jenuh hanya dalam waktu 10 menit
sedangkan BFA 1 jenuh dalam waktu 89 menit.


V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah :
1. BFA mempunyai kemampuan untuk mengurangi kadar H2S dalam
biogas. BFA yang teraktivasi memiliki kapasitas adsorpsi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan BFA yang tidak teraktivasi. BFA dengan
ukuran lebih kecil mempunyai kapasitas adsorpsi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan BFA yang dengan ukuran yang lebih besar.
2. Performansi terbaik ditunjukkan oleh BFA 1 dengan kondisi operasi
sebagai berikut : konsentrasi awal H2S adalah 154 ppm dan flow rate
gas adalah 200 ml/min.
3. BFA recycle dapat digunakan kembali sebagai adsorben walaupun
kemampuan adsorpsinya sedikit rendah.
5.2. Saran
1. BFA sebagai limbah padat dapat dimanfaatkan sebagai adsorben
untuk mengurangi kadar H2S dalam biogas. Namun perlu penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan adanya gas lain yang
diadsorpsi oleh BFA.
2. BFA terbukti dapat digunakan untuk mengurangi kadar H2S dalam
bentuk gas, akan tetapi belum diketahui apakah efektif untuk
mengurangi H2S dalam limbah cair (misal: limbah cair pada industri
kulit).









10












VI. DAFTAR PUSTAKA

Akhtar, M., Hasany, S.M., Bhanger, M.I., dan Iqbal, S., 2007, “Low Cost
Sorbents for The Removal of Methyl Parathion Pesticide from Aqueous
Solutions”, Chemosphere, 66, 1829-1838.
Aksu, Z. dan Gonen, F., 2004, Biosorption of Phenol by Immobilized Activated
Sludge in a Continuous Packed Bed: Prediction of Breakthrough Curve,
Process Biochemistry, 39, 599-613.
Anggit, dkk., 2010, “Penurunan Kadar Phenol dengan Memanfaatkan Bagasse Fly
Ash dan Chitin Sebagai Adsorben” .
Apiratikul. R et al., 2008, “Batch and column studies of biosorption of heavy
metals by Caulerpa lentillifera”, Bioresource Technology, 99, 2766–2777.
BPPT, 1997a, “Teknologi Pengolahan Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses
Biofilter Anaerob dan Aerob”, http://www.enviro.bppt.go.id/~Kel-1/ (dalam
Husin A, 2008).
Choma, J., Burakiewicz-Mortka, W., Jaroniec, M., Li, Z., Klinik, J., 1999,
“Monitoring Changes in Surface dan Structural Properties of Porous
Carbons Modified by Different Oxidizing Agents”, J. Colloid Interface Sci.,
214, 438-446.
Crittendent, B. dan Thomas, W.J., 1998,”Adsorption Technology dan Design”, p.
97, Elsevier Science and Technology Books.
Do, D.D., 1998, “Adsorption Analysis: Equilibria and Kinetics”, Series on
Chemical Engineering, Vol 2, pp. 13-16, Imperial College Press.
El Hadi, R.M., Husniah, H., Widjajani, Rohmah, D.S., dan Purba, D.B., 2002,
"Rancangan Model Simulasi Pengolahan Limbah Cair Industri Penyamakan
Kulit Menggunakan Serbuk Kaca Bekas dengan Sistem Daur Ulang",
Seminar Nasional Perkembangan Riset dan Teknologi di Bidang Industri,
Yogyakarta.
El-Hendawy, A.N., 2003, “Influence of HNO3 Oxidation on The Structure and
Adsorptive Properties of Corncob-based Activated Carbon”, Carbon, 41,
713-722.
Laksono, Endang.W., 2002, “Analisis Daya Adsorpsi Suatu Adsorben”, Makalah
PPM.
Gupta, V.K. dan Ali, I., 2001, “Removal of DDD and DDE from Wastewater
Using Bagasse Fly Ash, A Sugar Industry Waste”, Wat. Res., 35, 33-40.
Gupta, V.K. dan Ali, I., 2004, “Removal of Lead and Chromium from Wastewater
Using Bagasse Fly Ash- a Sugar Industry Waste”, J. Colloid Interface Sci.,
271, 321-328.
Gupta, V.K. dan Sharma, S., 2003, “Removal of Zink from Aqueous Solution
Using Bagasse Fly Ash- Low Cost Adsorbent”, Ind. Eng. Chem. Res., 42,
6619-6624.
Herlambang, A, 2002, “Teknologi Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu”, Pusat
Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan (BPPT) dan Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Samarinda.



11










Husin, A. 2008. “Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu Dengan Biofiltrasi
Anaerob Dalam Reaktor Fixed-Bed”, Laporan Tesis, Sekolah Pascasarjana,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Kaswinarni, F., 2007, “Kajian Teknis Pengolahan Limbah Padat dan Cair Industri
Tahu”, Laporan Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.
Lahaye, J., 1998, “The Chemistry of carbon Surfaces”, Fuel, 77, 543-547.
Mane, V.S., Mall, I.D., and Srivastava, V.C., 2007, “Use of Bagasse Fly Ash As
An Adsorbent for The Removal of Brilliant Green Dye from Aqueous
Solution”, Dyes Pigments, 73, 269-278.
OSHA (2002). Occupational Safety and Health Administration Hazardous
Pollutants List. U.S. Department of Labor, Washington, D.C.
www.OSHA.gov (On Zicari, 2003)
Pokhrel, D. dan Viraraghavan, T., 2008, Arsenic Removal in an Iron Oxide-
Coated Fungal Biomass Column: Analysis of Breakthrough Curves”
Bioresource Technol., 99, 2067–2071.
Prasetya, A., 2007, Some Data of Bagasse Fly Ash.
Rao, M., Parwate, A.V., and Bhole, A.G., 2002, “Removal Of Cr6+ and Ni2+ from
Aqueous Solution using Bagasse Fly Ash”, Waste Management, 22, 821-
830.
Richardson, J.F., Harker, J.H., dan Backhurst, J.R., “Particle Technology and
Separation Processes” in Coulson dan Richardson’s Chemical Engineering,
Vol.2, 5th ed., pp. 979-980, Butterworth-Heinemann.
Ruthven, D.M., 1984, Principle of Adsorption dan Adsorption Processes, John
Wiley & Sons, Inc., pp. 220-271.
Souza, S.M.A.G.U., Peruzzo, L.C., dan Souza, A.A.U., “Numerical Study of The
Adsorption of Dyes From Ttextile Effluents”, Applied Mathematical
Modelling, 32, 1711-1718.
Suzuki, M., 1990, “ Adsorption Engineering”, p. 35, Kodansha Ltd.
Sholeh, M. 2009. “Pengurangan Chemical Oxygen Demand Dalam Air Limbah
Industri Penyamakan Kulit Menggunakan Abu Terbang Bagas”. Laporan
Tesis, Program Studi Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Toles, C.A., Marshall, W.E., dan Johns, M.M., 1998, “Surface Functional Groups
on Acid-Activated Nutshell Carbons”, Carbon, 37, 1207-1214.
Wardani, R.K. 2010. Penentuan Waktu Tinggal Optimum Return Sludge
Terhadap Peningkatan Produksi Biogas dan Konsentrasi Gas Metana Pada
Biodigester Dengan Bahan Kotoran Sapi. M.Eng.Thesis in Master of
Engineering System. Gadjah Mada University, Yogyakarta.
Zicari, S.M. 2003. Removal Of Hydrogen Sulfide From Biogas Using Cow-
Manure Compost.M.Sc. Thesis in Faculty of The Graduate School. Cornell
University, Ithaca, NY: 1p.









12










WEBSITES

http://www.pln.co.id/pro00/news/aktivitas/76/225.html, access on March 2, 2011.
http://www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm, access on Desember 27,
2011.
http://anekailmu.blogspot.com/2007/04/mengenal-hidrogen-peroksida-h2o2.html,
acces on February 22,2012.
http://www.h2o2.com/technical-library, acces on February 22, 2012.













































13


Sarto - Personal Name
Pertiwiningrum, Ambar - Personal Name
Putri, Rizki Triana - Personal Name
Februari 2012
R 604.6 Put b c.1 02.2012
604.6
Thesis
English
Magister Teknik Sistem FT UGM
2012
Yogyakarta
xi, 50 hlm.; ilus.; 29 cm.
Disertai CD
LOADING LIST...
LOADING LIST...